Selasa, 05 Juni 2018

1806063. Toleransi, Salat dan Gereja.

Toleransi, Salat dan Gereja

PEMANDANGAN langka berlangsung sore itu, Jumat 1 Juni. Puluhan perempuan berhijab dan laki-laki berkopiah berselfie ria di dalam Gereja Katedral, Jakarta. 


     Tanpa risih, namun tertib, layaknya rombongan turis, mereka keliling mengagumi arsitektur neo gotik Gereja Katedral yang lazim ditemui di Eropa abad 18. 


     Secara seksama mereka menyimak setiap sudut perangkat ritual keagamaan yang dijelaskan Romo Hani Rudi Hartoko,SJ, pastor paroki gereja. Tanya jawab ringan ikut mewarnai.


      Rombongan bergeser ke Aula Gereja. Duduk lesehan membentuk lingkaran, bersiap buka puasa bersama. Pihak gereja menyiapkan ruangan khusus untuk salat magrib. Salat di lingkungan gereja.

SIAPA mereka...? Puluhan orang itu berasal dari Komunitas Kerja Bakti Demi Negeri. Anggotanya ribuan dari Jaringan Gusdurian, PBNU, MUI, Kongres Wanita Indonesia, sampai yang namanya Komunitas Berbudaya Wirausaha.


     Menurut Alisa Wahid dari Jaringan Gusdurian, gerakan ini murni gerakan rakyat. Banyak rakyat yang cinta damai. Mereka tidak ingin ada sekat agama yang memisahkan.


     Kedatangan mereka bertepatan dengan libur nasional memperingati Hari Lahir Pancasila. Tujuan utamanya ke Gereja Katedral adalah ungkapan rasa ikut berduka atas peristiwa aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya. 


     Bagi mereka, aksi Surabaya Berdarah Hari Minggu 13 Mei lalu, bukan hanya merobek-robek pri kemanusiaan. Lebih dari itu. Memukul keras bangunan toleransi sesama anak bangsa yang memang kian menipis.

GLOBALISASI dan keterbukaan, berlangsung tanpa filter. Terjadi kontaminasi dimana-mana. Termasuk transformasi budaya yang salah. 


     Budaya kerja sama dan gotong royong yang sejak lama ada, kini luntur. Berganti dengan budaya kekerasan, fitnah, saling curiga dan memusuhi. 


     Agama adalah salah satu ukurannya. Suatu pilihan, bukan hal yang dipaksakan.
Peace... :-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar